Passion
Menurut saya, passion adalah salah satu faktor yang paling penting ketika kita mau memilih suatu jurusan. Bayangkan kalau kamu harus stuck menekuni jurusan yang sama sekali tidak kamu sukai selama empat tahun! Isn’t that a torture? Tentunya itu bukan sesuatu yang mau kamu alami di masa-masa kuliah. Your four years of college should be the times when you shape your identity, integrity, and perspectives on world issues. Waktu kuliah akan sama sekali jadi ngga menarik kalau kamu melakukannya karena terpaksa.
Berikut adalah beberapa pertanyaan yang bisa kamu jadikan sebagai checklist. Bukan hal yang mudah, memang, untuk menentukan satu jurusan yang bisa accommodate all our wishes, tapi semoga beberapa pertanyaan ini bisa membantu kamu:
– Kegiatan apa yang menarik bagi kamu untuk berpartisipasi di dalamnya?
Sama halnya seperti kebanyakan Universitas di Indonesia, semua perguruan tinggi di Amerika punya beragam gerakan mahasiswa di lingkungan kampusnya. Di kampus saya, Boston University, ada lebih dari lima ratus (ya, lima ratus!) student organizations and movements yang bisa kamu ikuti. Jangan takut kalau kamu merasa pilihan jurusan kamu tergolong eksentrik, seperti misalnya criminal justice, entomology, atau public policy. Salah satu keunggulan pendidikan di Amerika menurut saya is its limitless choice of majors. Apapun jurusan yang muncul di pikiran kamu, biasanya pasti akan ada universitas disini yang menyelenggarakan program seperti itu. Budaya student organizations di Amerika juga sangat kuat, dan biasanya mereka punya peranan yang penting dalam membangun koneksi juga pengetahuan berdasarkan major yang kamu geluti.
– Ketika kamu nonton TV, baca majalah, atau bolak-balik artikel di koran, artikel apa yang paling menarik buatmu?
This is no joke. Hobi baca berita tentang celebs or juicy gossips bisa dipandang dari sisi positif loh! Entertainment aside, bisa saja itu artinya kamu tertarik di bidang pertelevisian dan jurnalistik. Seperti yang saya gambarkan sebelumnya, U.S. Education System has every single major you can ever think of. Salah satu program paling populer di kampus saya adalah jurnalisme dan pertelevisian – dan tentunya kita tahu bahwa Amerika punya salah satu pusat industri perfilman termaju di dunia. Buat saya, salah satu cara paling gampang mengenali interest kita adalah berita apa yang pertama kali kita buka ketika kita lagi browsing for news, regardless of whether it is on the web, TV, radio, magazines, or papers. This might be a good way to start identifying your personal interest in a specific major.
– Apa kamu tipe orang yang suka bekerja sendiri atau suka bekerja dalam kelompok?
Apa kamu merasa kamu lebih nyaman bekerja sendiri, atau kamu suka bekerja sama kelompok dan terlibat dalam banyak team projects? Tentunya hal ini bergantung banget sama each person’s personality. Sama seperti di Indonesia, business, hospitality, and communication majors do massive amount of teamwork assignments dan pure science majors such as Physics, Biology, or Chemistry lebih banyak menekankan ke pemahaman teori. Atau mungkin kamu suka menghabiskan waktu melakukan banyak eksperimen di lab? If that is the case, biomedical engineering, electrical engineering, biochemistry, or food science might suit you well. Saya rasa faktor ini juga cukup penting, karena semakin tinggi level kelas yang harus diambil nantinya, semakin spesifik apa saja deliverables yang harus kamu selesaikan in order to pass the course. Kamu bakal banyak encounter projects, researches and group assignments, which means you’ll spend most time either working alone or in groups.
– Apa pelajaran favoritmu di SMA?
This is definitely the easiest parameter for everyone. Nah, mungkin disini waktunya buat saya untuk share soal breaking the stereotype. Mungkin banyak dari kita yang berpikir kalau SMA-nya masuk jurusan IPA, waktu kuliah harus ambil jurusan yang berbau IPA, and IPS-wise. Dulu saya termasuk dalam orang-orang yang percaya ke kategori ini. That is not a rule! Realitanya, banyak kok mereka-mereka yang memilih jurusan yang sama sekali berbeda dengan apa yang mereka pelajari pas SMA. IPA people doing business majors are a classic example. Bahkan, sepupu saya dulunya merupakan lulusan Jurnalistik ketika ia selesai dengan undergraduate studiesnya. Guess what she did for her masters? Ahli anestesi. Terdengar ajaib ya. She gave me a real life example that as long you have the determination to do whatever you want, nothing is impossible. Jadi, jangan memandang IPA-IPS sebagai ‘patokan harga mati’ yang nantinya membatasi pilihan jurusan kamu. Still, it is a good question to help you decide.
– What does your dream job look like?
Tentunya semua orang punya ekspektasi ideal tentang dream jobnya. Nah, impian kamu ini bisa kamu jadikan sebagai motivasi dalam memilih jurusan. Isn’t it fun when you do things that might lead you to achieve your dream?
Talent
Coba kamu nilai dirimu sendiri dalam hal performance dan prestasi di sekolah. As you might have known, college level courses will give you lots of assignments and readings due, jadi pastinya kamu juga harus lebih bisa me-manage waktu dan kemampuan kamu supaya nggak ada tugas yang keteteran. Try asking yourself, hal apa aja yang udah kamu berhasil lakukan di sekolah, baik itu dari sisi akademis maupun non-akademis seperti OSIS, jadi event organizer untuk sports competition, ketua dari fund raising project, atau misalnya pernah menjabat jadi ketua klub di sekolah kamu. Penghargaan apa yang pernah kamu raih, dan di bidang apa? Apa kamu merasa kamu lebih baik dalam mengerjakan suatu bidang, seperti misalnya mendesain eksperimen, solve numerical problems, mendesain softwares and applications, meliput berita, membangun small businesses, atau communicating with other people? Selain itu, kebiasaan kamu belajar juga boleh jadi bahan pertimbangan. Apa kamu tipe yang lebih suka keluar dan berkomunikasi dengan orang lain atau sanggup duduk berjam-jam dan menyelesaikan assignments sendiri? Biarpun kesannya hal-hal ini kurang ada kaitan dengan memilih jurusan, sebenarnya menurut saya ini juga lumayan penting. It is undeniable that people in general will perform better in a specific field if they have a talent in it (with a dash of motivation and passion, of course.)
Motivation
In my perspective, motivation is one of the driving forces of life. Sulit rasanya buat saya kalau disuruh membayangkan kuliah tanpa motivasi, tanpa tujuan, tanpa arah yang jelas setelah lulus kita mau apa. Selama ini saya sempet ketemu beberapa teman disini yang hampir setiap hari mengeluh mereka udah nggak punya motivasi lagi untuk kuliah. Alasannya sederhana: mereka merasa salah pilih jurusan. You will not ever, ever want that to happen. Ketika kamu berhasil membuat beberapa nominasi jurusan yang kamu minati, coba kamu bertanya pada diri sendiri: apa yang memotivasi kamu untuk memilih jurusan itu? Apakah pilihan kamu murni didasari oleh minat, bakat, dan personal values kamu? Atau kamu memilih jurusan itu hanya semata-mata tekanan dari orang tua atau teman-teman sekitar? Tentunya kamu pasti pernah mendengar orang-orang yang akhirnya end up di jurusan yang kurang mereka sukai, hanya karena sebagian besar teman-teman dekatnya memutuskan mau mendalami jurusan itu.
Second, kadang-kadang alasan kita memilih satu jurusan itu is simply based on public opinion that this major you’re considering is the “right” thing to do. Menanggapi pemikiran ini, mungkin saya akan counter dengan jawaban, “apa yang menurut sebagian besar orang benar, belum tentu itu pas dengan apa yang sebenarnya saya mau dan butuh, kan?” it all goes back to knowing yourself better. One thing to keep in mind though, motivasi menurut saya adalah salah satu faktor terpenting yang harus kamu pikirkan. Kamu harus yakin dan bisa pastikan bahwa motivasi itu bakal tetap menyala selama kamu melewati empat tahun menggeluti bidang tersebut.
Personal Values
Now let’s think about some values and principles that are guiding your life and orchestrates the way you see the world. Disini, mungkin konsep yang mau saya share bakal lebih gampang kalau langsung digambarkan dengan contoh. For example, take Environmental Science. Buat saya, contoh ini menarik karena bidang ini adalah salah satu bidang yang banyak menggabungkan ilmu eksakta dan moral values dalam analisisnya. When we were discussing on issues of development, the concept of urbanization came up. In order for an urban area to expand and grow, some lands and trees need to be sacrificed so buildings can be constructed. Jika kamu diberi dua pilihan antara menghilangkan daerah hijau supaya pembangunan bisa terus maju atau mempertahankan lahan alami tersebut, mana yang akan kamu pilih? Bagi sebagian orang, mungkin bagi mereka urbanisasi lebih penting, dan mereka ngga keberatan kalau pohon-pohon ditebang semua. Akan tetapi, ada pihak yang lebih mementingkan adanya lahan hijau. Believe it or not, personal values juga punya peranan penting ketika kamu nanti terjun ke suatu jurusan. Apa yang menurut kamu adalah benar, bisa jadi sebaliknya di beberapa jurusan. Tentunya bakal sulit bagi kita untuk menjalani suatu jurusan yang nilai-nilainya kurang sesuai dengan personality & personal values kita. Try to make your personal values match with the requirements and outcomes of your potential major (and future career as well.)
Future Expectations (& Realities)
Buat saya, mencari keseimbangan di faktor ini yang paling sulit. And this is simply because it is often when we found a balance between motivation, talent, and passion, reality tends to move in an opposite direction. I have three classic examples for this. Pertama, ada dari kita yang sangat tertarik sama suatu major, tapi dia sadar bahwa kemampuannya kurang cocok untuk mendalami bidang itu. Kedua, ada lagi orang-orang yang sebenarnya punya kemampuan yg cukup di suatu bidang, tapi mereka nggak begitu tertarik untuk ambil major tersebut. Dan yang ketiga, ada kasus dimana seseorang punya kemampuan dan minat, tapi mereka tahu bahwa kesempatan untuk berkarir di bidang ini (and earn sufficient amount of money) sangat tipis, khususnya di Indonesia setelah ia pulang dari Amerika. To be honest, this is still a puzzle I’m trying to solve. Buat yang satu ini, mungkin bahan pertimbangan terbaik adalah bagaimana kamu membayangkan masa depanmu sendiri. Apa kamu akan kembali ke Indonesia setelah kamu lulus, atau kamu berencana stay di Amerika, atau kamu ingin menempuh karir di negara lain? Setiap negara biasanya punya employment chance and preferences yang cukup spesifik. Oleh karena itu, apa rencana kamu di masa depan bisa dijadikan hal penyeimbang dengan keputusan kamu terhadap a certain major.
2. I've made my decision! (…or maybe not.) What can I do next?
Kalau kamu akhirnya berhasil come up with one major or two of your choice, hal termudah pertama yang bisa kamu lakukan adalah browse universities atau colleges yang bisa mengakomodasi pilihan kamu. Google-ing for information is a good way to start, selain bertanya ke senior atau teman-teman yang tahu uni/college apa menyediakan jurusan apa. Biasanya ketika kamu apply, kamu akan punya opsi untuk segera menyatakan (declare) major kamu atau opsi undecided (belum memutuskan). Bagi saya, gunakan opsi yang kedua hanya jika kamu benar-benar have no idea of what to do.
Sebenarnya ada keuntungan kalau kamu sampai akhirnya memilih undecided. Positifnya, kamu diberi kebebasan selama 2 tahun pertama untuk mengeksplor berbagai macam pelajaran yang nantinya akan masuk sebagai elective requirements kamu (saya yakin pasti nanti bakal ada contributor lain yang membahas sistem grading & course requirements di Amerika). Negatifnya, terkadang kebebasan yang kamu pegang ini bisa jadi temptation untuk hilang fokus dan akhirnya sulit saat kamu harus menentukan jurusan. Biarpun kebanyakan “pelajaran resmi” dari jurusan kamu kebanyakan dimulai dari akhir tahun kedua, hampir semua jurusan pasti mewajibkan kamu mengambil semacam introductory course sebelum kamu enroll ke mata kuliah yang levelnya lebih tinggi. Kalau kamu mengambil bermacam-macam elective tanpa framework yang jelas, hal yang paling ditakutkan adalah pada saat nantinya kamu harus menentukan jurusan, bakal sulit bagi kamu karena banyak pelajaran wajib yang seharusnya kamu ambil, tapi belum kamu pelajari. Which means you will eventually spend more semesters catching up mandatory courses, and that indirectly translates to more money spent, and more time spent.
It is still possible for you to change majors before you hit junior (third) year, tapi menurut saya ada baiknya kamu tidak sampai harus mengambil keputusan seperti itu. Di awal artikel ini, I admitted that I indeed switched my major on the second semester, dari Biochemistry ke Finance dan Operations & Technology Management. Konsekuensi yang harus saya terima adalah semua Biology & Chemistry courses yang dulunya merupakan required courses untuk Biochem major, dialihkan menjadi elective requirements untuk Business major. Secara hitungan minimum credits, sebenarnya saya ngga dirugikan sama sekali karena ngga ada satu courses pun yang mubazir. Tapi, saya harus mengambil beberapa required introductory courses supaya saya bisa pindah ke School of Management dan ambil higher level business courses. As a result, saya tertinggal satu semester dari rekan-rekan saya yang sudah mantap memilih business majors sejak semester pertama mereka.
Deciding your major is easy if you set a specific goal and you’re willing to make it happen. Find that perfect balance between passion, motivation, talent, personal values, & future expectations. You’re the only one who knows you best. Pick the right major, love it with all your will, and enjoy your fours years of college experience!
I’m absolutely open to comments and questions. Kalau kamu punya kritik apapun atau pertanyaan soal memilih jurusan, silahkan jot something down on the comment box! I’ll try my best to help and improve on my future articles. Semoga artikel ini berguna buat siapapun yang udah meluangkan waktu buat membacanya. Thanks, and until next time! – Alicia (Sumber Indonesia mengglobal/Caroline Damanik)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar